@copy right : Shine Fikri. Powered by Blogger.

Nak, Engkaulah Alasan Seorang Ibu

Bismillah...

Dulu, sering saya merasa heran pada para perempuan yang tersakiti, terdzolimi, namun Ia tetap teguh mempertahankan  pernikahannya. Bahkan saat berkali-kali pasangannya selingkuh di depan mata kepalanya sendiri, benar-benar sudah melakukan zina, Ia menangis sejadi-jadinya namun Ia tetap sabar dan kembali.

"Mpo, kenapa ga minta udahan aja mpo? Anak-anak juga kan kasihan lihat ibu bapaknya berantem mulu, mpo." Tanya Saya pada ART yang pernah bantu di rumah.

"Saya mikirnya anak-anak teh."

"Iya, tapi kan mpo bisa mendidik anak-anak dengan mpo sendiri. Apalagi mpo kerja juga kan. Terus mpo berhak untuk bahagia. Kalau pernikahan seperti ini apa yang harus dipertahankan?"

"Iya teh, ini Saya lagi mau musyawarah dengan keluarga. Saya juga sudah ga tahan diginiin terus bertahun-tahun. Yang selingkuh dia, eh dia yang nuduh saya macem-macem. Saya sampai ditendang tanpa alasan yang jelas. Menurut dia, saya lah yang selingkuh dan main-main sama orang. Ya Allah teh, Saya mah gawe ya gawe mikirnya buat bantu-bantu suami, buat anak-anak." Linangan air matanya deras membasahi pipi sambil nyetrikapun jalan teruuus :D.

"Ya Allah mpo, sakit banget pasti ya mpo. Saran saya sudahi aja mpo, mpo dan anak-anak berhak bahagia."

Keesokan harinya ketika Ia masuk ke rumah, Saya pun menanyai bagaimana kelanjutannya. Ternyata lagi-lagi saudara, Mpo tetap kembali pada pernikahannya yang menurut Saya Toxic Relationship. Hadeuh, heran deh. Batin saya ketika itu.

Pun pada perempuan-perempuan yang dulu Saya berpikir Mereka itu kok lemah banget, mau dibodoh-bodohin oleh lelaki yang iyuuuuh banget?

Pertanyaan-pertanyaan itu terbantahkan ketika semuanya terjadi pada Sahabat saya. Ya walaupun ga sampai zina ya, hanya sebatas kontakan namun sahabat saya sendiri mengakui bahwa rasanya kok sengilu itu ketika menyaksikan pasangannya kontakan dengan perempuan lain yang bukan muhrim.

Ketika Saya menanyakan alasannya, ternyata anak adalah salah satu alasan terkuat seorang Ibu untuk bertahan pada hubungan yang didalamnya terdapat ranjau. Ia begitu takut ketika anak-anak kehilangan sosok Ayahnya, Ia begitu takut anak-anak terguncang mentalnya, Ia begitu takut anak-anaknya akan menderita seperti penderitaan jiwanya. Ketakutan itu menjadi benteng terkuat hatinya, seberapa banyak anak panah menembus hatinya, sekuat itu pula hatinya untuk memelihara sabar pada dada. Mengobati luka tak berdarah mungkin sulit namun Ia tetap berusaha sekuat tenaga, jatuh bangun, mengadukan pada Rabb-nya di sepertiga malam. Meminta kelapangan jiwa, meminta keutuhan rumah tangganya.

"Hmmm, jadi itu alasannya?"

"Ya, alasan terkuat ku itu, Shine. Jadi apapun yang terjadi aku tetap akan bertahan."

"Tapi kan banyak anak-anak broken home dan yang tanpa Ayah bisa tumbuh menjadi anak yang hebat? Bahkan Imam Syafii tumbuh pada didikan tangan Ibu yang sangat hebat. Lihat karyanya sekarang, mengalir tak terbendung pada jiwa-jiwa yang haus ilmu."

"Ya, tapi aku ragu. Didalam otakku sekarang, selalu berputar-putar tentang anak muridku yang orangtuanya pisah dan dampaknya sangat pelik bagi si anak ini. Matanya tidak bisa berbohong ketika Saya menatapnya. Ada kesakitan yang luar biasa yang Ia sendiri mungkin belum mengerti apa. Aku tidak ingin itu terjadi pada anak-anakku."

"Ya Allah. Hebat kamu, sahabatku!" Pelukku dalam-dalam.

"Disaat jiwa kamu dan mental kamu butuh diselamatkan, kamu masih bisa memikirkan anak mu."

"Aku hanya berpikir, toh hidup hanya sementara. Mungkin jika penderitaan ini tidak bisa berakhir di dunia, ada akhirat yang mampu membasuh segala luka. Tidak butuh menunggu lama."

"Iya betul, capek dan sakit kita di dunia tak sebanding dengan kekalnya akhirat. Yang semoga kelak rasa sakit atau luka di dunia seperti tak ada bekasnya. Terbasuh dan tergantikan dengan pahala-pahala surga."

"Aamiin." Peluk sahabatku dalam tangisnya.

"Ku pikir Kamu terlalu cinta sama suamimu sehingga kamu tetap bertahan.'

"Duh kalau soal itu semu ya. Toh ujungnya Kita akan berpisah kok, maut akan memisahkan kita."

"Padahal diluar sana banyak lho yang mungkin bisa membahagiakan kamu."

"Belum tentu Shine. Aku bahkan misal suami meninggal, ga mau nikah lagi. Karena apa? Aku semacam trauma. Yang Kita nikahi kan lelaki ya. Sifatnya, wataknya, otaknya, hatinya Allah ciptakan sama. Jadi seperti buang-buang waktu soal cinta-cintaan ini, menguras tenaga banget. Masih banyak yang harus diurusi. Fokusku tetep sih anak. Kalau suami meninggal kan aku terlepas dari segala kuasaku. Kalau masih ada ya wajib aku pertahankanlah. Gitu sih."

"Tapi kamu menemukan ga sih esensi  pada rumah tangga mu?" Saya masih saja penasaran dengan selalu bertanya. Dasar perempuan ya selalu kepo dengan perasaan Sahabatnya jika sahabat tersebut sudah mengungkapkan 1 saja perasaannya.

"Entah ya. Yang ku pahami sekarang, rumah tangga itu dibangun bukan untuk saling menuntut. Jika misalkan suami kita dzolim bukan berarti kita harus dzolim juga. Doakan saja, berbuat yang terbaik saja. Kita kan punya Allah, itu sih yang membuat ku tenang."

"Duuuh, ini sebenarnya siapa yang butuh saran sih? Kok kayaknya Aku justru yang mendapatkan banyak insight dari kamu."

"Eh maaf Shine, ga ada maksud menggurui ya."

"Beneran hebat kamu. Aku salut. Kalau aku mah dah kabur kali mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera bersama teman berpetualang."

"Ya kali Ninja Hatori, wkwkwk."

Alhamdulillah melihatnya tertawa di tengah badai seperti ini rasanya kok Saya bahagia ya. Semoga ya Sahabatku, Engkau semakin dewasa dan menjadi ahli hikmah yang memandang sesuatu bukan hanya dari kaca mata ego, dunia, nafsu semata. Batinku selalu melangitkan pinta.

Masya Allah...

Ketika anak yang berupa investasi termahal dunia akhirat itu hadir menjadikan seorang Ibu memiliki lautan samudera kasih sayang tak terbatas. Semoga anak pula yang akan mengangkat derajat takwa kita. Semoga anak pula yang kelak akan menarik tangan orangtuanya ke Surga.

Ada celetukan yang lucu sekali dari Nusaiba, anak Saya. Ketika Saya mengatakan :

"Teh, nanti kalau teteh udah di surga dan teteh tidak menemukan Umi. Tolong cari Umi ya."

"Emang Umi dimana?"

"Ya ga tahu, yang penting cari aja."

"Ohhh, Umi disemak-semak kali."

"Wkwkwk Nusaiba Nusaiba."

Semoga Engkau mampukan Kami mendidik anak-anak Kami dengan sebaik-baik pendidikan dari Mu ya Rabb. Tuntun Kami, lapangkan dada kami untuk menerima segala Qada dan Qadar Mu, tunjukkan Kami bahwa yang Haq itu haq dan yang bathil itu bathil.

No comments