Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri
-Ir. Soekarno
Assalamu'alaikum Teman...
Berbicara Palembang, yang terlintas adalah Ampera dan Sungai Musi. Tak ketinggalan pempek sebagai menu andalannya yang mendunia. Semenjak kepindahan ke Palembang, semenjak itu pula aku serasa dibawa pada peninggalan-peninggalan jaman dulu. Sejarah, budaya, bahasa, semua digali lewat wisata edukasi bernama Museum. Sejarah mencatat bahwa Palembang dinobatkan sebagai kota paling tua di dunia setelah Sao Vicenta, Brasil. Tak hanya itu, Palembang pun dijuluki sebagai Venesia-nya Indonesia. How proud I am.
Berbeda dari biasanya, setelah aku mengajaknya untuk mengunjungi destinasi wisata baru (lebih tepatnya baru disosialisasikan) ia sangat antusias, matanya berbinar.
"Wah melintasi sungai Musi? Kapan? Yuk... yuk..." Katanya dengan excited.
Usut punya usut ternyata ia belum pernah melintasi sungai musi menggunakan ketek (perahu kecil). Berangkatlah kami menuju tempat yang dimaksud. Ada 2 jalur untuk akses menuju lokasi, jalur darat dan air. Tidak direkomendasikan melalui jalur darat karena akan melewati lorong-lorong becek. Setelah parkir kendaraan di BKB (Benteng Kuto Besak), kami pun bergegas. Di Dermaga BKB samping Iwak Belido-lah meeting point untuk menuju lokasi melintasi Musi dimulai.
Dari Sini Kita Naik Perahu Menuju Baba Boentjit |
Mengenal Rumah Tua Baba Boentjit
Apa sih sebenarnya tempat yang dimaksud? Pulau Kemaro? Bukan! Tempat ini adalah destinasi wisata yang belum diketahui oleh banyak orang. Penasaran kan... Kita akan melihat sisi lain dari Sungai Musi yang terpanjang 750 Km di Sumatera ini.
Minggu, 26 November 2017 merupakan hari dimana perkenalan itu bermula. Kami bergegas menemui panitia acara yang berasal dari para pemuda GenPI (Generasi Pesona Indonesia) Sumsel yang merupakan komunitas pemuda yang dibentuk oleh Kementrian Pariwisata (Kemenpar) untuk mensosialisasikan daerah Sumsel melalui media masa. Dan kali ini dalam bentuk offline, GenPI menghadirkan Festival Pasar Baba Boentjit sebagai salah satu destinasi wisata heritage. Tujuannya untuk mempopulerkan rumah Baba Ong Boentjit yang merupakan pengusaha terkenal peranakan di Palembang pada jamannya. Dan kini yang menghuni rumah tersebut adalah generasi ke delapan.
Setelah antri yang memakan waktu karena terbatasnya ketek gratis yang disediakan oleh panitia. Akhirnya kami pun berlabuh. Namun di luar hari ini, Kamu bisa membayar ketek dengan harga Rp. 5.000,- per orang. Tergantung banyaknya penumpang, jika sedikit bisa lebih mahal.
Berlokasi di lorong saudagar yucing No. 55 Rt. 050 Rw. 022 Kelurahan 3-4 ulu Kecamatan. Sebrang Ulu I Palembang, waktu tempuh dari Dermaga BKB menuju Baba Boentjit hanya 5-10 menit saja. Disepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan yang memanjakan mata. Langit biru, awan putih, semilir angin, cipratan ombak, mampu membuncahkan rasa bahagia. Kami tertawa, saling bercengkrama, kami menikmati perjalanan. Selain itu, kami pun disuguhi pemandangan Proyek Jembatan Ampera ke-6 yang sedang dalam proses finishing. Indahnyaa...
Sampai tibalah kami di depan rumah Baba Ong Boentjit. Ternyata sudah penuh dengan pengunjung yang juga penasaran seperti kami sekeluarga. Terlihat Rumah kayu khas Palembang, berbentuk limas sekilas nampak biasa saja. Namun setelah melihat lebih dalam, keunikannya baru terpancar. Ornamen dan interiornya khas bergaya Tiongkok.
Kreasi Daun Nipah
Dari depan halaman rumah dihiasi dengan nampah-nampah dari daun nipah. Wong kito galo pasti tahu dong dengan daun nipah? Ya, nipah merupakan komiditi utama asli Palembang. Tempat bertumbuhnya di rawa-rawa, hal ini cocok dengan letak strategis Palembang yang dipenuhi rawa.
Di sinilah daun nipah diolah, disulap menjadi barang yang bermanfaat seperti nampah, ayunan, atap rumah bahkan tikar. Uniknya lagi nipah ini yang menjadi bahan baku pembuatan Rumah Quran Al-Akbar di Gandus, Palembang. Di setiap sudut Kita bisa temui Ibu-ibu pengrajin yang sedang melakukan kreasinya. Pengunjung pun bahkan diberikan belajar singkat membuat nampah dari nipah.
Tidak terhenti sampai disana, rumah Baba Ong Boentjit berada di atas Sungai. Tema "Di tepian Musi, Kita bersama" dirasakan betul oleh setiap pengunjung. Terbukti dengan antusiasme pengunjung berfoto dan menikmati suasana dari anak SMA sampai Ibu beranak macam aku. Semua antusias mengabadikan momen kebersamaan dengan latar yang instagramable.
Memasuki ruangan tamu, dipenuhi dengan hiasan-hiasan dinding tulisan mandarin. Pernak-pernik ala Tiongkok dan tempat peribadatan yang dianggap suci. Sisi dinding dihiasi dengan pigura foto keluarga Baba Ong Boentjit. Semakin masuk, semakin menyiratkan betapa luas rumah ini. Ada dua meja untuk tempat santai dan meja makan yang dibuat melingkar. Suasananya begitu khas Tionghoa. Terdapat lampion-lampion dan kaca-kaca yang menghiasi langit-langit. Sehingga membawaku untuk terus melaju lebih dalam dan terhenti di lorong ruangan paling ujung. Entah untuk apa, jika boleh menebak, sepertinya lorong tersebut dijadikan untuk kamar mandi.
Ruang Tamu Baba Ong Boentjit |
Lampion dan ukiran huruf Mandarin |
Sempat tak percaya, ternyata rumah tua ini sudah ada sejak 300 tahun lalu. Sayangnya tidak ada informasi yang dapat Kami baca atau pamflet mengenai sejarah Baba Ong Boentjit ini. Sehingga Kami hanya bisa mendapatkan informasi dasar-dasar saja dengan bertanya. Memang setiap dinding terpahat tulisan namun itu tak memberi efek apa-apa bagi Kami (terutama aku) gagap bahasa Mandarin :D.
Festival Pasar Baba Boentjit
Seperti telah dijelaskan di awal bahwa festival ini merupakan bentuk inisiasi dari GenPI Sumsel. Para crew menjadwalkan acara dari jam 13.00-17.30. Hal ini diharapkan Kita akan menyaksikan sunset saat selesainya acara, sehingga eksotisme alam dapat kita nikmati bersama. Dihadiri ratusan pengunjung acara dibuka dengan tari kreasi peranakan Palembang dari Sanggar Rumah Elok.
Rangakaian acara pun dilanjutkan dari mulai sambutan perwakilan generasi ke-8 Baba Ong Boentjit, Artis Dinda Kirana, Perwakilan Kemenpar dan acara yang menampilkan seni tradisional khas Palembang sampai lomba-lomba yang berlimpah hadiah. Bahkan ada demo masak Pindang Patin, Pindang Tulang dan Ikan Baung dari Chef Kukuh, uh, sedapnyeee...
Suasana tambah mempesona dengan pentasnya drama "Legenda Antu Banyu" yang berarti Legenda Hantu Air dalam bahasa Palembang. Drama ini dipertunjukan oleh para Mahasiswa Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka, Palembang. Yang bercerita tentang Mitos legenda makhluk astral dari Sungai Musi. Makhluk astral tersebut digambarkan seperti manusia yang berwujud siamang, rambutnya panjang dan berlendir. Percaya atau tidak, lendir tersebut yang biasa nempel di kayu perahu sehingga menyebabkan pengunjung jatuh terpeleset dan Antu Banyu tersebut menunggu di dalam air. Hiii
Festival Kuliner
Lelah mengitari rumah dan mengikuti acara, Kita bisa santai sejenak di stand-stand Pasar Kuliner dengan memanjakan mulut dengan makanan Khas Palembang seperti Pempek panggang, Srikaya, Nastar Daun, Kue Bluder, Mie Celor, Gandus, Dadar Jiwo, Lenggang, Kemplang yang dipanggang dadakan dan aneka jajanan tempo dulu. Dengan harga yang relatif murah, rasanya pun enak dan bikin kenyang. Sepertinya Pasar Baba Boentjit layak dijadikan pasar rutin entah itu per minggu, bulan atau tahunan. Sehingga generasi penerus Kita bisa mengenal dan menikmati apa yang dikonsumsi neneknya moyangnya dulu.
Salah satu stand kuliner |
Fathan jajan Kue Srikaya |
Pengalaman yang mengesankan, bisa membelah Musi menuju sebuah destinasi baru yang didalamnya ada pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar destinasi. Semoga hal ini mengajak kita menolak lupa akan sejarah dari setiap tempat yang melegenda.
Palembanh adalah salah satu daerah yang kepingin banget aku kunjungi, terutama nyobain semua kulinernya dan jalan2 di destinasi wisatanya. Mupeng mupeng.
ReplyDeleteHayuk geura der teh kesini diantos 😘
DeleteKeren sekali ulasannya. Saya mencintai Palembang karena besar dan lama tinggal disana. Semoga kita bisa menjaga budaya, tradisi dan menjaga lingkungannya ya
ReplyDeleteaamiin iya yuk, tugas kita menjaga dan melestarikan kebudayaan yg telah ada
DeleteItu antik ya mba bagus juga buat foto2 ,,,, jadi kepingin kesana bukan hanya kulinernya yg khas mpe2 Ada destinasi lain nih klo mau k sana
ReplyDeleteYuk mba kesini, banyak banget yg harus di eksplore kalau sudah di Palembang
DeleteWong Palembang itu wajahnya juga Chinese ya, sipit2 dan cantik2 tapi muslim. Ternyata kental budaya chinesenya di sini
ReplyDeleteNah aku lupa memasukan hal ini mba. Jadi baba ong boentjit itu adalah peranakan dari wong kito yg nikah sama Tiongkok. Dulunya kan Musi itu jalur lalu lintas antar negara
DeleteMaau ah bisa main ke Palembang dan eksplore banyak sekali tempat wisata yang menarik disana ya mba. KUlinernya juga enak bangeet
ReplyDeleteYuk bu direktur kemari. Pastinya banyak bgt yg menarik selain wiskulnya
DeleteKeren banget Palembang disebut Venisia nya Indonesia. Bahagia banget pastinya bangga ya mba Shine, orang yang berasal dari Palembang. Siapapun kepengen berwisata ke sana dan kulineran mpek2, mie celor dll. Hhmm..
ReplyDeleteIya bener mba, akupun yg bukan orang asli sini bangga dan takjub mba dengan kebbudayaannya
DeleteMba Shineee pokoknya kapan nanti aku ke Palembang ajak aku jalan-jalan yaa.. Pingin ke rumah Baba Boenjit jugaaa.. Aku suka tempat wisata yang nilai sejarahnya tinggi gitu.. :D
ReplyDeleteMba Ditaaa, ayooo, bener lho, ditunggu di Jembatan Ampera 😘
DeleteAku bayangi baba Boentjit ini zaman dulunya taukeh Cina kaya raya di kenal karena perutnya yang buncit. Err ngarang banget ya..agak gemes emanf kalau ke suatu tempat penting tapi detail sejarahnya kurang..mba jangan lupakan Depok ya, dan someday kalau aku ke Palembang bolehlah ajak jalan-jalan..
ReplyDeletehahaha samaaa, aku pun gemesss mba, tapi nanti aku edit karena baru dapet info terbarunya dari si mbah Google 😅
DeleteGa mungkinlah aku lupakan depok, apalagi kalian 😘
Siaaap, ditunggulah pokoknya
Pengen empek2 tapi mknnya di tepi sungai Musi wkwkwk.Indonesia sll kaya akan budayanya yg beragam. Bersyukur bgt jd org Indonesia
ReplyDeleteNikmat manakah yg kan kau dustakan banget itu mah maaak.
DeleteHayolah mak sini, kita makan pempek bareng di tepi sungai musi 😘
Unik yaa, teh di sana tuh memang ada kelompok cina gitu kah? Soalnya kok temen2ku yang asalnya Palembang matanya pada sipit-sipit hehe, kayanya khas banget gitu orang2 sana. Kapan yaa bisa meluncur ke Palembang, nyobain langsung pempek di sana mmm
ReplyDeleteIya say memang sejarahnya begitu, kebanyakan keturunan Tionghoa dan wong kito asli menikah, jadilah mereka sipit2. Disini juga ada kampungnya sendiri, yuk sini atuh
DeleteWow 300 tahun? Msh bagus ya bangunannya. Semoga pemerintah tetap mempertahankannya sbg peninggalan bersejarah. Jd ini deketan sungai Musi ya mbak? Berarti ini nanti jd salah satudestinasi wajib buat dikunjungi kalau ke Palembang :D TFS
ReplyDeleteIya 300 tahun mba, itu karena perawatan dari para regenarasinya, udah beberapa kali diganti, tapi ga meninggalkan bentuk aslinya. Iya ini di tepian sungai Musi nya mba... Betul wajib karena salah satu warisan budaya bangsa
DeleteWow 300 tahun? Msh bagus ya bangunannya. Semoga pemerintah tetap mempertahankannya sbg peninggalan bersejarah. Jd ini deketan sungai Musi ya mbak? Berarti ini nanti jd salah satudestinasi wajib buat dikunjungi kalau ke Palembang :D TFS
ReplyDeleteKalau suamiku sama si Abang mah justru suka banget kalau diajak ke museum. Apalagi Abang bisa "huaaa huaaa" pas baca deskripsi2 sejarahnya. ^_^
ReplyDeleteBtw, itu rumah bisa kokoh sampai 300 tahun berarti perawatan dan bahan baku buat rumahnya luar biasa ya. Jadi mau kesana deh. Semoga keteknya ga oleng dinaikin saya.. Hahaha
Lokasinya bagus banget untuk foto-foto! Aku sampai saat ini masih belum kesampaian mengunjungi destinasi wisata di Sumatra, padahal banyak yang bagus dan menarik ya. Semoga bisa diberikan kesempatan untuk berkunjung ke tempat-tempat ini. Aamiin.
ReplyDelete